1. Musyawarah Untuk Mufakat
Di pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila), PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) dan PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) kita diajarkan bahwa untuk menyelesaikan suatu masalah kita harus menggunakan cara musyawarah untuk mufakat. Demokrasi tidak begitu bersahabat dengan musyawarah mufakat karena biasanya mengambil keputusan dengan cara voting, baik pada pemilu, pilkada, pilgub, pilpres, pilbup, pemilihan rw, pemilihan rt, dan lain sebagainya. Musyawarah biasanya selalu berujung debat kusir, walk out, adu jotos, silat lidah, sumpah-sumpahan, caci maki, dan lain sebagainya. Nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tidak bertentangan dengan agama lainnya mungkin saja banyak yang tidak sejalan dengan demokrasi.
2. Pancasila Sila Keempat (Ke-4)
Masih ingat sila ke-empat dari pancasila? Benar, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Pancasila tidak mengenal demokrasi yang selalu memenangkan suara terbanyak untuk menyelesaikan masalah bangsa. Wakil parpol (bukan wakil rakyat) yang ada di dewan negara kita kebanyakan tunduk dan taat kepada parpolnya, sehingga siapa pun wakilnya sudah pasti dia akan mengikuti parpolnya. Anggota dewan yang berseberangan dengan partai politiknya karena ingin menyuarakan aspirasi orang-orang yang diwakilinya kita pasti sudah tahu bagaimana nanti nasibnya. Pelajaran sekolah PKn sudah kehilangan kata pancasila pada judulnya karena mungkin terlalu berseberangan dengan demokrasi yang dianut oleh pemerintah negara kita saat ini.
3. Pemimpin Yang Tidak Berarti
Dengan adanya demokrasi maka pimpinan tertinggi adalah hasil rapat DPR atau MPR. Buat apa ada pemimpin seperti presiden, gubernur, dan bupati jika segala sesuatu harus atas persetujuan anggota dewan (Partai Politik)? Jika demikian adanya maka seharusnya DPR saja yang jadi presiden, sedangkan presiden menjadi Kepala Tata Usaha Negara (KETUN) saja. Segala yang dilakukan Presiden harus disetujui orang-orang partai politik mayoritas agar tidak dipermasalahkan di kemudian hari. Celakanya lagi adalah bahwa presiden, gubernur, dan bupati adalah juga orang partai politik. Kita tahu sendiri bagaimana perilaku oknum partai politik yang satu dengan yang lain biasanya saling main tikam di belakang maupun di depan.
4. Sesuatu Yang Bodoh dan Gila Menjadi Aturan
Karena sistem demokrasi menganggap suara wakil partai politik adalah suara Tuhan, maka apapun hasil keputusan suara terbanyak dalam dewan adalah sesuatu yang harus dijalankan. Apabila rakyat kita salah pilih dalam memilih wakil rakyatnya, maka orang-orang bodoh dan orang-orang jahatlah yang akan membuat berbagai kebijakan yang berlaku untuk seluruh rakyat. Jadi jangan heran jika menemukan berbagai kebijakan yang aneh-aneh yang diluar akal sehat serta bertentangan dengan ajaran agama-agama besar. Kita tahu sendiri, bahwa pendidikan di negara kita masih rendah kualitasnya sehingga mempengaruhi dalam pemilihan wakil rakyat oleh masyarakat di negara kita. Orang-orang yang bodoh biasanya akan memilih wakil-wakil yang bodoh atau jahat. Orang-orang yang jahat biasanya akan memilih wakil-wakil yang jahat atau bodoh pula. Tidak menutup kemungkinan orang-orang cerdas dan baik salah pilih wakilnya karena begitu gencarnya praktek pencitraan dan pembunuhan karakter oleh oknum media massa.
5. Tidak Diajarkan Ajaran Agama Mayoritas
Agama Islam tidak mengenal demokrasi. Islam menganjurkan menunjuk pemimpin yang beriman, bertakwa, cerdas, baik dan dianggap mampu memimpin masyarakatnya. Setiap orang boleh menyalurkan aspirasinya selama aspirasi tersebut membangun dan tidak bertentangan dengan agama dan budaya bangsa. Setiap ada perselisihan, pemimpin maju untuk menengahi dan mengambil keputusan untuk menuntaskan permasalahan yang ada. Setiap orang wajib mengikuti kebijakan yang dibuat pemimpinnya selama bukan sesuatu yang dilarang agama. Wakil rakyat boleh bermusyawarah, membuat simpulan dan menyalurkan aspirasinya, namun tidak untuk menjatuhkan pemimpinnya kecuali jika pemimpin tersebut mengajak kepada kemaksiatan, kerusakan dan kehancuran. Demokrasi menyebabkan pemimpin kehilangan kendali, dan membuat pemimpin menjadi kambing hitam atas kinerja buruk oknum dewan serta oknum pemerintah yang korup atau jahat.
Ternyata demokrasi yang mengaku suara rakyat adalah suara Tuhan telah dilanggar oleh para pelaku demokrasi itu sendiri. Tengok saja di negara kita begitu banyaknya undang-undang yang bertentangan dengan ajaran agama kita, baik ajaran agama Islam maupun agama lainnya. Jadi slogan yang pas untuk demokrasi adalah suara parpol bukan suara Tuhan. Beberapa contohnya adalah pembolehan peredaran minuman keras secara bebas tanpa label haram yang banyak dikonsumsi kaum muslim, perekonomian yang disusun atas sistem riba yang merupakan salah satu dosa besar dalam ajaran islam, mengizinkan tempat-tempat maksiat berdiri di mana-mana, dan lain sebagainya.
Jadi bagaimana menurut anda sistem demokrasi? Apakah anda menyukainya? Mari kita merenung. Bukankah akan lebih baik apabila kita dipimpin oleh pemimpin yang baik, jujur, takut kepada Tuhannya, berpihak kepada rakyat banyak, membenci kemaksiatan, memeluk agama yang tidak mengajarkan kejahatan, dan berbagai kebaikan lainnya? Bukankah akan jauh lebih baik apabila pemimpin dapat melakukan berbagai tindakan secara cepat dan tepat tanpa harus meminta persetujuan dari wakil parpol yang mungkin berseberangan dengan keinginan pemimpin. Partai politik yang menentang budaya dan agama bukanlah wakil rakyat, namun wakil setan yang hanya mencari dunia (harta, tahta dan wanita) saja.
0 Respon Pada "Sistem Demokrasi Bertentangan Dengan Budaya Bangsa Indonesia dan Islam"
Posting Komentar