Oleh : Didik P. Wicaksono
Era reformasi, demokratisasi dan otonomi daerah telah membuka partisipasi masyarakat secara luas untuk ’tidak malu-malu’ tampil dalam panggung politik. Panggung politik lebih terbuka menjadi ‘permainan’ semua kalangan. Padahal panggung politik pada masa lalu (baca: rezim orba) merupakan ‘permainan’ terbatas yang melibatkan pemain utama dari kalangan partai politik.
Kini panggung politik memungkinkan dari berbagai kalangan dapat terlibat. Seseorang dapat saja melompat sebagai lakon, penata panggung maupun produser dalam sebuah pentas ’politik panggung sandiwara’. Pementasan yang diperagakan pun ’sebetulnya’ tidak jauh berbeda, yakni pencitraan
kualitas dan kuantitas dalam ’tebar pesona’.
Siapapun –laki-laki dan wanita– bisa terlibat dalam pementasan. Dunia, seperti Shakespeare bersyair â€All the world’s a stage and all the men and women merely players†(Dunia merupakan suatu pentas dan semua laki-laki dan wanita merupakan pemain). Taufiq Ismail juga mengilustrasikan dalam sebuah lagu, “Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah, ada peran wajar dan ada peran berpura-pura….â€
Kehidupan politik dengan jaringan interaksi sosial didalamnya, ibarat kehidupan di atas panggung sandiwara. Meminjam prinsip dramaturginya Ervin Goffman (1959) dalam buku The Presentation of Self in Everyday Live, bahwa kehidupan sosial dapat dipahami melalui metafora drama (dramaturgi). Demikian juga perilaku para aktor politik, secara ilmiah dapat dilihat dari prinsip dramaturginya Ervin Goffman.
Menurut Goffman, dalam pementasan ada front stage (panggung depan), back stage (panggung belakang), team of performers (kelompok tim yang terlibat atau pendukung dalam pementasan, audience (penonton atau khalayak), dan outsider (individu yang hadir tetapi tidak terlibat dalam permainan yang dinamakan orang luar).
Dalam kehidupan nyata, panggung depan adalah ruang publik atau suatu tempat perjumpaan. Di ruang ini seseorang (sekelompok orang) dapat menunjukkan performance (penampilan) dan memberikan impression (kesan). Setidaknya panggung depan merupakan ruangan atau tempat yang lazim digunakan untuk mempresentasikan diri.
Dalam suatu perjumpaan –sadar atau tidak, sengaja atau tidak– seseorang membuat expression (pernyataan) atau action (gaya) sehingga pihak lain memperoleh kesan. Usaha mempengaruhi kesan orang lain ini dinamakan impression management (pengelolaan kesan).
Pengelolaan kesan dapat dilakukan dengan mendifinisikan situasi. Seseorang yang berjumpa dengan orang lain akan mencari informasi atau informasi yang sudah dimiliki tentang orang yang akan dijumpainya sebagai bahan pengelolaan kesan.
Pengelolaan kesan penting dilakukan agar ‘tidak kehilangan muka’. Misal seorang akor politik yang sedang turba (safari politik) ke daerah yang berbasis agama (islam) perlu memakai, laki-laki serban/songkok dan wanita jilbab atau atribut keislaman lainnya, meskipun –semula- tidak biasa menggunakannya. Menghadiri jamuan makan, belanja ke supermaket, naik pesawat terbang, studi komparatif atau sekaligus melancong ke luar negeri, semua itu perlu pengelolaan kesan. Beda ruang publik atau tempat perjumpaan, beda pula pengelolaan kesannya.
Panggung belakang adalah ruang privat atau tempat yang tidak diketahui orang lain. Di ruang ini seseorang bisa leluasa menunjukkan wajah aslinya. Mengendorkan kontrol atas peran dan penampilannya. Songkok yang membuat kepala pusing atau jilbab yang membuat kepala panas bisa segera dilepaskan. Dalam pementasan drama, tempat ini sebagai tempat bersantai, istirahat, berias, minum, atau berlatih menyiapkan penampilan dan peran selanjutnya.
Kelompok tim yang terlibat (pendukung) dalam pementasan adalah mereka yang turut berperan dalam solidaritas tim. Tim sukses, penyandang dana serta anggota tim yang lain, demi keutuhan dan kebersamaan perlu saling melindungi terhadap kekurangan dan kelemahan penampilan aktor
dihadapan penonton (basis massa).
Dalam pementasan bisa saja terjadi ’insiden’, misal terlepasnya kemben/kebaya. Demi pengaturan kesan, solidaritas tim diusahakan tetap di jaga, mengalihkan sorot lampu, bila perlu mematikan lampu, atau pemain lain menghalangi dari pandangan penonton, bahkan bila perlu keber panggung diturunkan. Yang penting tidak mengganggu atau merusak pementasan.
Seorang aktor politik yang ‘terpeleset lidah’ dan komentarnya dapat menyinggung perasaan banyak orang, maka kelompok tim dapat membangun solidaritas untuk mengamankan dan melokalisir komentar tersebut agar tidak berpengaruh negatif bagi basis massa yang diharapkan dukungannya. Demikian pula apabila aktor politik memiliki masa lalu yang tidak baik, kelompok tim perlu menjaga agar tidak terekspos atau menjadi bahan yang dapat memojokkan kualitas aktor politik.
Media massa dan sarana publikasi lainnya (spanduk, boleho, poster, kalender, dan lainnya) adalah dekorasi ’panggung depan’ yang mendukung pementasan. Tim yang terlibat dalam pementasan mengatur persoalan ini. Tujuannya, supaya sang aktor politik nampak atau memang diketahui saleh, mulia, baik hati, empati, dermawan, merakyat dan visionernya sebagai calon penguasa.
Menggunakan pandangan Goffman, maka semua atribut, simbul dan berbagai asesoris dapat digunakan untuk presentasi diri. Presentasi dilakukan untuk memberitahu orang lain siapa ‘aku’ atau ‘kita’ dan mengendalikan orang lain supaya memandang ‘aku’ atau ‘kita’ sebagai aktor yang ditunjukkan. Menunjukkan apa yang ingin di ketahui sama pentingnya dengan menunjukkan apa yang tidak ingin di ketahui. Itulah sebabnya kans politik seseorang bertahan bukan bergantung pada ’apakah’ dia sebenarnya, tapi pada ’bagaimana’ dia kelihatannya. Bukan apa yang dilakukan, tapi apa yang banyak dijanjikan.
Aktor politik dapat mengoptimalkan semua kemampuan pencitraan. Pengelolaan kesan dalam memperluas jaringan dukungan, dapat memperbanyak silaturrahmi. Mobilisasi massa dapat dilakukan dengan mengadakan pengajian, istighasoh, jalan sehat, nonton tinju bersama, dan atau cara-cara seremonial semacamnya. Money politik dikemas dengan kepedulian akan kebutuhan rakyat, membagi sembako dan berbagai manipulator lainnya.
Goffman, menyajikan manusia berinteraksi sosial –apalagi politikus berpolitik?- sebagai con artist (penipu), sebagai manipulator ulung yang berusaha menipu atau memanipulasi hubungan dengan pihak lain dalam setiap perjumpaan. Perjumpaan antar manusia memerlukan mask (topeng) yang beragam untuk menonjolkan kelebihan yang dimiliki atau yang bukan miliknya, sekaligus menutupi berbagai kekurangan dan indentitas diri -yang barang kali juga perlu disembunyikan-. Menampilkan apa yang ingin ditampilkan sama pentingnya dengan menyembunyikan apa yang ingin disembunyikan. Para aktor politik dan timnya mengejar tujuan kekuasaan masing-masing dan dengan sinis tidak menghiraukan kepentingan-kepentingan orang lain.
Kata akhir syair Taufiq Ismail, “Mengapa kita bersandiwara?” Apakah manusia memang suka bersandiwara? Adakah politik (dapat) berhati nurani? Politik adalah permainan kekuasaan. Kalau (tidak pandai) bersandiwara mengapa dan untuk apa tampil dalam panggung politik?
Era reformasi, demokratisasi dan otonomi daerah telah membuka partisipasi masyarakat secara luas untuk ’tidak malu-malu’ tampil dalam panggung politik. Panggung politik lebih terbuka menjadi ‘permainan’ semua kalangan. Padahal panggung politik pada masa lalu (baca: rezim orba) merupakan ‘permainan’ terbatas yang melibatkan pemain utama dari kalangan partai politik.
Kini panggung politik memungkinkan dari berbagai kalangan dapat terlibat. Seseorang dapat saja melompat sebagai lakon, penata panggung maupun produser dalam sebuah pentas ’politik panggung sandiwara’. Pementasan yang diperagakan pun ’sebetulnya’ tidak jauh berbeda, yakni pencitraan
kualitas dan kuantitas dalam ’tebar pesona’.
Siapapun –laki-laki dan wanita– bisa terlibat dalam pementasan. Dunia, seperti Shakespeare bersyair â€All the world’s a stage and all the men and women merely players†(Dunia merupakan suatu pentas dan semua laki-laki dan wanita merupakan pemain). Taufiq Ismail juga mengilustrasikan dalam sebuah lagu, “Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah, ada peran wajar dan ada peran berpura-pura….â€
Kehidupan politik dengan jaringan interaksi sosial didalamnya, ibarat kehidupan di atas panggung sandiwara. Meminjam prinsip dramaturginya Ervin Goffman (1959) dalam buku The Presentation of Self in Everyday Live, bahwa kehidupan sosial dapat dipahami melalui metafora drama (dramaturgi). Demikian juga perilaku para aktor politik, secara ilmiah dapat dilihat dari prinsip dramaturginya Ervin Goffman.
Menurut Goffman, dalam pementasan ada front stage (panggung depan), back stage (panggung belakang), team of performers (kelompok tim yang terlibat atau pendukung dalam pementasan, audience (penonton atau khalayak), dan outsider (individu yang hadir tetapi tidak terlibat dalam permainan yang dinamakan orang luar).
Dalam kehidupan nyata, panggung depan adalah ruang publik atau suatu tempat perjumpaan. Di ruang ini seseorang (sekelompok orang) dapat menunjukkan performance (penampilan) dan memberikan impression (kesan). Setidaknya panggung depan merupakan ruangan atau tempat yang lazim digunakan untuk mempresentasikan diri.
Dalam suatu perjumpaan –sadar atau tidak, sengaja atau tidak– seseorang membuat expression (pernyataan) atau action (gaya) sehingga pihak lain memperoleh kesan. Usaha mempengaruhi kesan orang lain ini dinamakan impression management (pengelolaan kesan).
Pengelolaan kesan dapat dilakukan dengan mendifinisikan situasi. Seseorang yang berjumpa dengan orang lain akan mencari informasi atau informasi yang sudah dimiliki tentang orang yang akan dijumpainya sebagai bahan pengelolaan kesan.
Pengelolaan kesan penting dilakukan agar ‘tidak kehilangan muka’. Misal seorang akor politik yang sedang turba (safari politik) ke daerah yang berbasis agama (islam) perlu memakai, laki-laki serban/songkok dan wanita jilbab atau atribut keislaman lainnya, meskipun –semula- tidak biasa menggunakannya. Menghadiri jamuan makan, belanja ke supermaket, naik pesawat terbang, studi komparatif atau sekaligus melancong ke luar negeri, semua itu perlu pengelolaan kesan. Beda ruang publik atau tempat perjumpaan, beda pula pengelolaan kesannya.
Panggung belakang adalah ruang privat atau tempat yang tidak diketahui orang lain. Di ruang ini seseorang bisa leluasa menunjukkan wajah aslinya. Mengendorkan kontrol atas peran dan penampilannya. Songkok yang membuat kepala pusing atau jilbab yang membuat kepala panas bisa segera dilepaskan. Dalam pementasan drama, tempat ini sebagai tempat bersantai, istirahat, berias, minum, atau berlatih menyiapkan penampilan dan peran selanjutnya.
Kelompok tim yang terlibat (pendukung) dalam pementasan adalah mereka yang turut berperan dalam solidaritas tim. Tim sukses, penyandang dana serta anggota tim yang lain, demi keutuhan dan kebersamaan perlu saling melindungi terhadap kekurangan dan kelemahan penampilan aktor
dihadapan penonton (basis massa).
Dalam pementasan bisa saja terjadi ’insiden’, misal terlepasnya kemben/kebaya. Demi pengaturan kesan, solidaritas tim diusahakan tetap di jaga, mengalihkan sorot lampu, bila perlu mematikan lampu, atau pemain lain menghalangi dari pandangan penonton, bahkan bila perlu keber panggung diturunkan. Yang penting tidak mengganggu atau merusak pementasan.
Seorang aktor politik yang ‘terpeleset lidah’ dan komentarnya dapat menyinggung perasaan banyak orang, maka kelompok tim dapat membangun solidaritas untuk mengamankan dan melokalisir komentar tersebut agar tidak berpengaruh negatif bagi basis massa yang diharapkan dukungannya. Demikian pula apabila aktor politik memiliki masa lalu yang tidak baik, kelompok tim perlu menjaga agar tidak terekspos atau menjadi bahan yang dapat memojokkan kualitas aktor politik.
Media massa dan sarana publikasi lainnya (spanduk, boleho, poster, kalender, dan lainnya) adalah dekorasi ’panggung depan’ yang mendukung pementasan. Tim yang terlibat dalam pementasan mengatur persoalan ini. Tujuannya, supaya sang aktor politik nampak atau memang diketahui saleh, mulia, baik hati, empati, dermawan, merakyat dan visionernya sebagai calon penguasa.
Menggunakan pandangan Goffman, maka semua atribut, simbul dan berbagai asesoris dapat digunakan untuk presentasi diri. Presentasi dilakukan untuk memberitahu orang lain siapa ‘aku’ atau ‘kita’ dan mengendalikan orang lain supaya memandang ‘aku’ atau ‘kita’ sebagai aktor yang ditunjukkan. Menunjukkan apa yang ingin di ketahui sama pentingnya dengan menunjukkan apa yang tidak ingin di ketahui. Itulah sebabnya kans politik seseorang bertahan bukan bergantung pada ’apakah’ dia sebenarnya, tapi pada ’bagaimana’ dia kelihatannya. Bukan apa yang dilakukan, tapi apa yang banyak dijanjikan.
Aktor politik dapat mengoptimalkan semua kemampuan pencitraan. Pengelolaan kesan dalam memperluas jaringan dukungan, dapat memperbanyak silaturrahmi. Mobilisasi massa dapat dilakukan dengan mengadakan pengajian, istighasoh, jalan sehat, nonton tinju bersama, dan atau cara-cara seremonial semacamnya. Money politik dikemas dengan kepedulian akan kebutuhan rakyat, membagi sembako dan berbagai manipulator lainnya.
Goffman, menyajikan manusia berinteraksi sosial –apalagi politikus berpolitik?- sebagai con artist (penipu), sebagai manipulator ulung yang berusaha menipu atau memanipulasi hubungan dengan pihak lain dalam setiap perjumpaan. Perjumpaan antar manusia memerlukan mask (topeng) yang beragam untuk menonjolkan kelebihan yang dimiliki atau yang bukan miliknya, sekaligus menutupi berbagai kekurangan dan indentitas diri -yang barang kali juga perlu disembunyikan-. Menampilkan apa yang ingin ditampilkan sama pentingnya dengan menyembunyikan apa yang ingin disembunyikan. Para aktor politik dan timnya mengejar tujuan kekuasaan masing-masing dan dengan sinis tidak menghiraukan kepentingan-kepentingan orang lain.
Kata akhir syair Taufiq Ismail, “Mengapa kita bersandiwara?” Apakah manusia memang suka bersandiwara? Adakah politik (dapat) berhati nurani? Politik adalah permainan kekuasaan. Kalau (tidak pandai) bersandiwara mengapa dan untuk apa tampil dalam panggung politik?
0 Respon Pada "Politik Panggung Sandiwara - Kalau (tidak pandai) Bersandiwara Untuk Apa Tampil Dalam Panggung Politik?"
Posting Komentar