A. Judul
Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dalam Pembelajaran Matematika melalui Pendekatan Kontekstual Teknik Kooperatif Team Assisted Individualization (TAI).
B. Latar Belakang Masalah
Diketahui secara umum bahwa belajar matematika dapat melatih pola pikir. Kemudian diketahui pula dengan terlatihnya pola pikir itu, maka setiap orang akan mendapat kemudahan ketika menyelesaikan suatu permasalahan. Ini mengisyaratkan pentingnya belajar matematika sedini mungkin. Kebijakan pemerintah mendukung agar matematika dipelajari sedini mungkin sebagaimana ditetapkannya matematika sebagai salah satu mata pelajaran dalam ujian nasional dari sekolah dasar hingga sekolah menengah. Saat ini fakta di lapangan pendidikan menyatakan bahwa banyak siswa menganggap matematika itu bukan pembelajaran yang menyenangkan, diantaranya membosankan, tidak menarik, dan bahkan sukar. Fakta tersebut menjadi tantangan bagi praktisi pendidikan bidang matematika untuk membuat pembelajaran yang tepat agar terlaksananya pembelajaran matematika yang melatih pola pikir.
Salah satu pola pikir yang penting adalah berpikir kritis. Dongeng tentang berpikir kritis mengungkapkan bahwa berpikir kritis bermanfaat bagi orang yang menggunakannya untuk tidak mudah dibohongi. Bila dongeng tersebut memang benar, maka berpikir kritis berguna bagi rakyat untuk menilai kejujuran pemerintahnya, bagi istri menilai kejujuran suami atau sebaliknya, bagi pegawai menilai bos atau sebaliknya, dan lain-lain. Oleh karena itu, bepikir kritis merupakan pola pikir yang digunakan untuk menilai kebenaran informasi yang datang kepada seorang individu yang menghadapi lingkungan sekitarnya.
Setiap individu mestinya mampu mengelola informasi dengan cara berpikir kritis untuk memecahkan masalah. Wahab (Ulfah, 2011: 3) menyatakan bahwa
1. Tuntutan zaman yang menghendaki warga negara dapat mencari, me-milih, dan menggunakan informasi untuk kehidupan, bermasyarakat dan bernegara.
2. Setiap warga Negara senantiasa berhadapan dengan berbagai masalah dan pilihan sehingga dituntut mampu berpikir kritis dan kreatif.
3. Kemampuan memandang sesuatu dengan cara berbeda dalam memecahkan masalah.
4. Berpikir merupakan aspek dalam memecahkan permasalahan secara kreatif agar peserta didik dapat bersaing secara adil dan mampu bekerja sama dengan Negara lain.
Informasi yang luas dan kemampuan berpikir kritis yang cukup tinggi diperlukan untuk memecahkan masalah yang sangat sulit. Siswa SMA lebih luas menyerap informasi dibandingkan dengan siswa SMP dan bahkan siswa SD. Kemampuan berpikir kritis siswa SMA semestinya ditingkatkan. “Hasil secara umum berdasar status sekolah menunjukan kemampuan berpikir kritis siswa SMA di kota Ban-dung masih rendah, untuk SMA Negeri sebesar 39,80 % dan SMA Swasta sebesar 32,10 % (Andrian dalam Ulfah, 2011: 4). Siswa SMA adalah generasi penerus bagian dari masyarakat yang membutuhkan kemampuan berpikir kritis untuk menghadapi berbagai masalah di zaman yang maju dewasa ini sebagaimana Murti (2011) menyatakan bahwa,
Berpikir kritis sangat penting di abad ke-21. Abad ke-21 merupakan era informasi dan teknologi. Seseorang harus merespons perubahan dengan cepat dan efektif, sehingga memerlukan keterampilan intelektual yang fleksibel, kemampuan menganalisis informasi, dan mengintegrasikan berbagai sumber pengetahuan untuk memecahkan masalah.
Dengan demikian, salah satu individu yang mestinya memiliki kemampuan mengelola informasi dengan cara berpikir kritis untuk memecahkan masalah adalah siswa SMA.
Meningkatkan kemampuan berpikir kritis dapat dimulai dengan memahami definisi-definisi berpikir kritis terlebih dulu. Definisi-definisi berpikir kritis yang sering digunakan dalam karya ilmiah dari Ennis, Langehr, dan Glazer mengandung kegiatan refleksi, definisi-definisinya sebagai berikut ini:
Ennis mendefinisikan bahwa, Berpikir kritis sebagai berpikir reflektif yang mengarah pada pembuatan keputusan mengenai apa yang diyakini atau dilakukan. Langrehr menyatakan bahwa, Berpikir kritis adalah berpikir evaluatif yang mencakup penggunaan kriteria relevan dalam mengevaluasi informasi yang didukung oleh keakuratan, keterkaitan, ketepatgunaan, kekonsistenan, dan bias dari suatu informasiâ€. Definisi berpikir kritis dalam matematika diberikan oleh Glaser, yaitu â€Berpikir kritis dalam matematika mengandung ke-mampuan dan sikap yang dipadukan dengan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematik, strategi kognitif untuk menggeneralisasikan, pembuktian, dan mengevaluasi situasi matematika secara reflektif. (Rohaeti, 2010: 100)
Hasil dari kegiatan refleksi tersebut adalah informasi-informasi terkait fakta yang sedang dihadapi untuk dicari atau ditentukan nilai kebenarannya. Fakta tersebut dapat berupa situasi matematika. Sebuah situasi matematika bernilai benar jika in-formasi-informasi terkait situasi matematika tersebut mendukungnya, begitu pun sebaliknya jika salah. Informasi-informasi yang mendukung itu biasa disebut se-bagai alasan. Dengan demikian, kegiatan refleksi merupakan kegiatan berpikir yang menghasilkan alasan, sehingga berpikir kritis dalam matematika dapat dise-but secara sederhana sebagai berpikir beralasan. Berpikir beralasan sebagai berpikir kritis sejalan dengan pandangan psikologis bahwa, â€Kemampuan berpikir kritis adalah segala keterampilan yang diperlukan untuk mengenal, menganalisis, dan mengevaluasi argumen (alasan)†(Schlecht dalam Andriany, 2003: 13).
Berpikir beralasan penting untuk membuat alasan mengapa seorang individu melakukan sesuatu, salah satunya saat kegiatan pembelajaran. Berpikir beralasan berguna bagi siswa untuk berbagi pengetahuan yang telah dimiliki. Siswa menjadi mampu memberikan alasan-alasan pada suatu temuan dalam pemaparan materi matematika. Siswa pun menjadi mampu memberikan alasan-alasan tercapainya hasil akhir dalam pemecahan soal-soal matematika. Soal-soal matematika yang memerlukan kegiatan berpikir beralasan adalah soal-soal yang tidak rutin, karena soal-soal yang tidak rutin dapat dipecahkan bila terdapat alasan-alasan yang cukup yang menjadi cara penyelesaiannya. Soal-soal yang tidak rutin merupakan soal-soal pemecahan masalah matematika (Suherman, 2001: 83). Oleh karenanya, berpikir beralasan berguna untuk menghasilkan alasan-alasan yang menjadi cara penyelesaian soal-soal tidak rutin atau soal-soal pemecahan masalah matematika.
Berpikir Kritis dan pemecahan masalah adalah dua hal yang sangat erat sebagaimana dinyatakan bahwa, â€Berpikir kritis dan pemecahan masalah berjalan beriringan, untuk belajar matematika melalui pemecahan masalah (problem solving) siswa harus belajar bagaimana berpikir kritis†(Marcut dalam Runisah, 2008: 25). Kemudian sejalan dengan itu, Chance seorang ahli psikologi kognitif (Rahmawati, 2010: 41) mendefinisikan bahwa, â€berpikir kritis sebagai kemampuan untuk menganalisis fakta, membangkitkan dan mengatur ide, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, menarik kesimpulan, mengevaluasi argumen dan memecahkan masalahâ€. Permasalahan yang perlu dipecahkan dengan berpikir kritis adalah masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata sebagaimana dikemukakan bahwa, â€Kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah yang dapat digunakan sebagai cara pemecahan masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata†(DEPDIKNAS dalam Muliawati, 2010: 2) Oleh karena itu, berpikir kritis dapat digunakan siswa dalam pemecahan masalah atau soal-soal tidak rutin yang berkaitan dengan kehidupan nyata.
Pembelajaran mengunakan masalah-masalah dan perubahan anggapan-angga-pan siswa atau sikap siswa terhadap matematika menjadi perhatian dalam pelaksa-naan pendekatan kontekstual, kemudian pendekatan kontekstual sering disebut sebagai pembelajaran kontekstual sebagaimana Susan Jones Sears dan Susan B. Hersh (1998) dan Johnson (2002) (dalam Jaenudin, 2008:11) mengemukakan bahwa,
Karakteristik pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang mencakup:
1. Pembelajaran berbasis masalah.
2. Keberagaman dan saling keterkaitan konteks.
3. Kemandirian dalam belajar yang mencakup kesadaran berpikir, pengguna-an berbagai strategi dan pemberian motivasi secara terus-menerus.
4. Pembelajaran berdasarkan pada konteks pengalaman siswa yang beragam.
Salah satu manfaat pendekatan kontektual terungkapkan dalam pengertian yang menyatakan bahwa, ’Pendekatan kontekstual adalah suatu konsep tentang pembelajaran yang membantu guru-guru untuk menghubungkan isi bahan ajar dengan situasi-situasi dunia nyata’ (Sabandar dalam Yulianingsih, 2011: 11). Pendekatan kontekstual efektif untuk dilaksanakan sebagaimana dinyatakan bahwa, â€Siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi disekelilingnya†(Dewey dalam Fitriah, 2007:5).
Masyarakat Belajar (Learning Community) adalah salah satu komponen Pendekatan kontekstual (Nurhadi dalam Tirtani, 2010: 15). Masyarakat Belajar memiliki tujuan yaitu, â€Agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, yaitu belajar kelompok....â€(Kesuma, 2010: 66). Kelebihan dari belajar kelompok digambarkan sebagaimana dinyatakan bahwa,
Penelitian selama dua puluh tahun terakhir mengidentifikasikan bahwa pembelajaran kooperatif dapat digunakan secara efektif pada setiap tingkatan kelas dan untuk mengajarkan berbagai macam mata pelajaran. Mulai dari mate-matika, membaca, menulis sampai pada ilmu pengetahuan ilmiah, mulai dari kemampuan dasar sampai pemecahan masalah-masalah yang kompleks. (Slavin, 2010: 4)
Salah satu teknik dalam pembelajaran Kooperatif (belajar kelompok) adalah Kooperatif Team Assissted Individualization (TAI) yang dapat digunakan dalam mengajarkan matematika untuk kelas tiga sampai enam atau kelas yang lebih tinggi yang belum siap menerima materi aljabar lengkap (Slavin, 2010 : 15). Kooperatif Team Assissted Individualization (TAI) memberikan siswa kesempa-tan untuk belajar sendiri dan juga belajar dalam kelompok karena memang Kooperatif TAI ini dikembangkan oleh Slavin dengan memadukan belajar kooperatif dan pembelajaran individual (Waryuman, 2010). Belajar sendiri dapat digunakan oleh siswa untuk mengkonstruksi pemahaman awal pada materi dasar. Kemudian belajar kelompok dapat digunakan siswa untuk melakukan proses bertanya, menemukan, dan membuat masyarakat belajar. Jadi dengan adanya kesempatan ini menyediakan peluang untuk merancang pelaksanaan pembelajaran yang memadukan pendekatan kontekstual dengan Kooperatif TAI.
Kelebihan dari pendekatan kontekstual teknik Kooperatif TAI adalah pembelajarannya yang berbasis masalah, kemudian memberi kesempatan kepada tiap individu untuk berpikir kritis secara individual dan kelompok, dan pemberian motivasi secara terus-menerus. Berdasarkan paparan diatas munculah pertanyaan:
1. Apakah terjadi peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa SMA yang dalam proses pembelajaran matematikanya melalui pendekatan kontekstual teknik Kooperatif Team Asissted Individualization (TAI)?
2. Bagaimana sikap siswa terhadap penerapan pendekatan kontekstual teknik Kooperatif Team Asissted Individualization (TAI)?
Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dalam Pembelajaran Matematika melalui Pendekatan Kontekstual Teknik Kooperatif Team Assisted Individualization (TAI).
B. Latar Belakang Masalah
Diketahui secara umum bahwa belajar matematika dapat melatih pola pikir. Kemudian diketahui pula dengan terlatihnya pola pikir itu, maka setiap orang akan mendapat kemudahan ketika menyelesaikan suatu permasalahan. Ini mengisyaratkan pentingnya belajar matematika sedini mungkin. Kebijakan pemerintah mendukung agar matematika dipelajari sedini mungkin sebagaimana ditetapkannya matematika sebagai salah satu mata pelajaran dalam ujian nasional dari sekolah dasar hingga sekolah menengah. Saat ini fakta di lapangan pendidikan menyatakan bahwa banyak siswa menganggap matematika itu bukan pembelajaran yang menyenangkan, diantaranya membosankan, tidak menarik, dan bahkan sukar. Fakta tersebut menjadi tantangan bagi praktisi pendidikan bidang matematika untuk membuat pembelajaran yang tepat agar terlaksananya pembelajaran matematika yang melatih pola pikir.
Salah satu pola pikir yang penting adalah berpikir kritis. Dongeng tentang berpikir kritis mengungkapkan bahwa berpikir kritis bermanfaat bagi orang yang menggunakannya untuk tidak mudah dibohongi. Bila dongeng tersebut memang benar, maka berpikir kritis berguna bagi rakyat untuk menilai kejujuran pemerintahnya, bagi istri menilai kejujuran suami atau sebaliknya, bagi pegawai menilai bos atau sebaliknya, dan lain-lain. Oleh karena itu, bepikir kritis merupakan pola pikir yang digunakan untuk menilai kebenaran informasi yang datang kepada seorang individu yang menghadapi lingkungan sekitarnya.
Setiap individu mestinya mampu mengelola informasi dengan cara berpikir kritis untuk memecahkan masalah. Wahab (Ulfah, 2011: 3) menyatakan bahwa
1. Tuntutan zaman yang menghendaki warga negara dapat mencari, me-milih, dan menggunakan informasi untuk kehidupan, bermasyarakat dan bernegara.
2. Setiap warga Negara senantiasa berhadapan dengan berbagai masalah dan pilihan sehingga dituntut mampu berpikir kritis dan kreatif.
3. Kemampuan memandang sesuatu dengan cara berbeda dalam memecahkan masalah.
4. Berpikir merupakan aspek dalam memecahkan permasalahan secara kreatif agar peserta didik dapat bersaing secara adil dan mampu bekerja sama dengan Negara lain.
Informasi yang luas dan kemampuan berpikir kritis yang cukup tinggi diperlukan untuk memecahkan masalah yang sangat sulit. Siswa SMA lebih luas menyerap informasi dibandingkan dengan siswa SMP dan bahkan siswa SD. Kemampuan berpikir kritis siswa SMA semestinya ditingkatkan. “Hasil secara umum berdasar status sekolah menunjukan kemampuan berpikir kritis siswa SMA di kota Ban-dung masih rendah, untuk SMA Negeri sebesar 39,80 % dan SMA Swasta sebesar 32,10 % (Andrian dalam Ulfah, 2011: 4). Siswa SMA adalah generasi penerus bagian dari masyarakat yang membutuhkan kemampuan berpikir kritis untuk menghadapi berbagai masalah di zaman yang maju dewasa ini sebagaimana Murti (2011) menyatakan bahwa,
Berpikir kritis sangat penting di abad ke-21. Abad ke-21 merupakan era informasi dan teknologi. Seseorang harus merespons perubahan dengan cepat dan efektif, sehingga memerlukan keterampilan intelektual yang fleksibel, kemampuan menganalisis informasi, dan mengintegrasikan berbagai sumber pengetahuan untuk memecahkan masalah.
Dengan demikian, salah satu individu yang mestinya memiliki kemampuan mengelola informasi dengan cara berpikir kritis untuk memecahkan masalah adalah siswa SMA.
Meningkatkan kemampuan berpikir kritis dapat dimulai dengan memahami definisi-definisi berpikir kritis terlebih dulu. Definisi-definisi berpikir kritis yang sering digunakan dalam karya ilmiah dari Ennis, Langehr, dan Glazer mengandung kegiatan refleksi, definisi-definisinya sebagai berikut ini:
Ennis mendefinisikan bahwa, Berpikir kritis sebagai berpikir reflektif yang mengarah pada pembuatan keputusan mengenai apa yang diyakini atau dilakukan. Langrehr menyatakan bahwa, Berpikir kritis adalah berpikir evaluatif yang mencakup penggunaan kriteria relevan dalam mengevaluasi informasi yang didukung oleh keakuratan, keterkaitan, ketepatgunaan, kekonsistenan, dan bias dari suatu informasiâ€. Definisi berpikir kritis dalam matematika diberikan oleh Glaser, yaitu â€Berpikir kritis dalam matematika mengandung ke-mampuan dan sikap yang dipadukan dengan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematik, strategi kognitif untuk menggeneralisasikan, pembuktian, dan mengevaluasi situasi matematika secara reflektif. (Rohaeti, 2010: 100)
Hasil dari kegiatan refleksi tersebut adalah informasi-informasi terkait fakta yang sedang dihadapi untuk dicari atau ditentukan nilai kebenarannya. Fakta tersebut dapat berupa situasi matematika. Sebuah situasi matematika bernilai benar jika in-formasi-informasi terkait situasi matematika tersebut mendukungnya, begitu pun sebaliknya jika salah. Informasi-informasi yang mendukung itu biasa disebut se-bagai alasan. Dengan demikian, kegiatan refleksi merupakan kegiatan berpikir yang menghasilkan alasan, sehingga berpikir kritis dalam matematika dapat dise-but secara sederhana sebagai berpikir beralasan. Berpikir beralasan sebagai berpikir kritis sejalan dengan pandangan psikologis bahwa, â€Kemampuan berpikir kritis adalah segala keterampilan yang diperlukan untuk mengenal, menganalisis, dan mengevaluasi argumen (alasan)†(Schlecht dalam Andriany, 2003: 13).
Berpikir beralasan penting untuk membuat alasan mengapa seorang individu melakukan sesuatu, salah satunya saat kegiatan pembelajaran. Berpikir beralasan berguna bagi siswa untuk berbagi pengetahuan yang telah dimiliki. Siswa menjadi mampu memberikan alasan-alasan pada suatu temuan dalam pemaparan materi matematika. Siswa pun menjadi mampu memberikan alasan-alasan tercapainya hasil akhir dalam pemecahan soal-soal matematika. Soal-soal matematika yang memerlukan kegiatan berpikir beralasan adalah soal-soal yang tidak rutin, karena soal-soal yang tidak rutin dapat dipecahkan bila terdapat alasan-alasan yang cukup yang menjadi cara penyelesaiannya. Soal-soal yang tidak rutin merupakan soal-soal pemecahan masalah matematika (Suherman, 2001: 83). Oleh karenanya, berpikir beralasan berguna untuk menghasilkan alasan-alasan yang menjadi cara penyelesaian soal-soal tidak rutin atau soal-soal pemecahan masalah matematika.
Berpikir Kritis dan pemecahan masalah adalah dua hal yang sangat erat sebagaimana dinyatakan bahwa, â€Berpikir kritis dan pemecahan masalah berjalan beriringan, untuk belajar matematika melalui pemecahan masalah (problem solving) siswa harus belajar bagaimana berpikir kritis†(Marcut dalam Runisah, 2008: 25). Kemudian sejalan dengan itu, Chance seorang ahli psikologi kognitif (Rahmawati, 2010: 41) mendefinisikan bahwa, â€berpikir kritis sebagai kemampuan untuk menganalisis fakta, membangkitkan dan mengatur ide, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, menarik kesimpulan, mengevaluasi argumen dan memecahkan masalahâ€. Permasalahan yang perlu dipecahkan dengan berpikir kritis adalah masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata sebagaimana dikemukakan bahwa, â€Kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah yang dapat digunakan sebagai cara pemecahan masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata†(DEPDIKNAS dalam Muliawati, 2010: 2) Oleh karena itu, berpikir kritis dapat digunakan siswa dalam pemecahan masalah atau soal-soal tidak rutin yang berkaitan dengan kehidupan nyata.
Pembelajaran mengunakan masalah-masalah dan perubahan anggapan-angga-pan siswa atau sikap siswa terhadap matematika menjadi perhatian dalam pelaksa-naan pendekatan kontekstual, kemudian pendekatan kontekstual sering disebut sebagai pembelajaran kontekstual sebagaimana Susan Jones Sears dan Susan B. Hersh (1998) dan Johnson (2002) (dalam Jaenudin, 2008:11) mengemukakan bahwa,
Karakteristik pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang mencakup:
1. Pembelajaran berbasis masalah.
2. Keberagaman dan saling keterkaitan konteks.
3. Kemandirian dalam belajar yang mencakup kesadaran berpikir, pengguna-an berbagai strategi dan pemberian motivasi secara terus-menerus.
4. Pembelajaran berdasarkan pada konteks pengalaman siswa yang beragam.
Salah satu manfaat pendekatan kontektual terungkapkan dalam pengertian yang menyatakan bahwa, ’Pendekatan kontekstual adalah suatu konsep tentang pembelajaran yang membantu guru-guru untuk menghubungkan isi bahan ajar dengan situasi-situasi dunia nyata’ (Sabandar dalam Yulianingsih, 2011: 11). Pendekatan kontekstual efektif untuk dilaksanakan sebagaimana dinyatakan bahwa, â€Siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi disekelilingnya†(Dewey dalam Fitriah, 2007:5).
Masyarakat Belajar (Learning Community) adalah salah satu komponen Pendekatan kontekstual (Nurhadi dalam Tirtani, 2010: 15). Masyarakat Belajar memiliki tujuan yaitu, â€Agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, yaitu belajar kelompok....â€(Kesuma, 2010: 66). Kelebihan dari belajar kelompok digambarkan sebagaimana dinyatakan bahwa,
Penelitian selama dua puluh tahun terakhir mengidentifikasikan bahwa pembelajaran kooperatif dapat digunakan secara efektif pada setiap tingkatan kelas dan untuk mengajarkan berbagai macam mata pelajaran. Mulai dari mate-matika, membaca, menulis sampai pada ilmu pengetahuan ilmiah, mulai dari kemampuan dasar sampai pemecahan masalah-masalah yang kompleks. (Slavin, 2010: 4)
Salah satu teknik dalam pembelajaran Kooperatif (belajar kelompok) adalah Kooperatif Team Assissted Individualization (TAI) yang dapat digunakan dalam mengajarkan matematika untuk kelas tiga sampai enam atau kelas yang lebih tinggi yang belum siap menerima materi aljabar lengkap (Slavin, 2010 : 15). Kooperatif Team Assissted Individualization (TAI) memberikan siswa kesempa-tan untuk belajar sendiri dan juga belajar dalam kelompok karena memang Kooperatif TAI ini dikembangkan oleh Slavin dengan memadukan belajar kooperatif dan pembelajaran individual (Waryuman, 2010). Belajar sendiri dapat digunakan oleh siswa untuk mengkonstruksi pemahaman awal pada materi dasar. Kemudian belajar kelompok dapat digunakan siswa untuk melakukan proses bertanya, menemukan, dan membuat masyarakat belajar. Jadi dengan adanya kesempatan ini menyediakan peluang untuk merancang pelaksanaan pembelajaran yang memadukan pendekatan kontekstual dengan Kooperatif TAI.
Kelebihan dari pendekatan kontekstual teknik Kooperatif TAI adalah pembelajarannya yang berbasis masalah, kemudian memberi kesempatan kepada tiap individu untuk berpikir kritis secara individual dan kelompok, dan pemberian motivasi secara terus-menerus. Berdasarkan paparan diatas munculah pertanyaan:
1. Apakah terjadi peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa SMA yang dalam proses pembelajaran matematikanya melalui pendekatan kontekstual teknik Kooperatif Team Asissted Individualization (TAI)?
2. Bagaimana sikap siswa terhadap penerapan pendekatan kontekstual teknik Kooperatif Team Asissted Individualization (TAI)?
0 Respon Pada "Kontekstual dan Matematika - Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa"
Posting Komentar