BAGAIMANA DIREKTUR SEBUAH RUMAH SAKIT???
Tulisan ini tidak untuk bertanya, tetapi mencoba memberikan informasi bagaimana seharusnya direktur sebuah rumah sakit umum daerah di era reformasi perumahsakitan, di era perdagangan bebas dan di era otonomi daerah. Direktur adalah sebutan pimpinan rumah sakit dengan berbagai strata dan bentuk kelembagaan rumahsakit (dari beberapa PERDA tentang SOTK RSUD di Provinsi Jambi)
Bagaimana reformasi perumahsakitan?.
Menjawab pertanyaan ini kita perlu mengetahui bagaimana konteks reformasi nasional dan reformasi kesehatan. Konteks reformasi nasional terdiri dari:
1. nilai yang perlu dianut, adanya tuntutan agar para birokrat lebih berorientasi kepada pelanggan (kepada konsumen/rakyat=menurut penulis), serta agar lebih responsive terhadap kebutuhan konsumen sehingga terbina dan terpelihara hubungan pemerintah dengan rakyat,
2. perilaku yang diharapkan, akuntabilitas akan menjadi lebih baik jika transparan dalam pengelolaan, dalam pencapaian yang berhasil dan pencapaian yang gagal. Sumber daya manusianya jujur dan bertanggung jawab dan takut akan dosa serta benar-benar taubat dari kesalahan orde baru,
3. budaya yang diharapkan; perubahan dalam etos kerja yang bukan merupakan etos jabatan, karena etos jabatan tidak berpihak kepada kemaslahatan ummat, belum berpihak kepada kepentingan rakyat tetapi lebih cenderung bagaimana pejabat tersebut selamat dan sukses dalam jabatannya. Perubahan ini diharapkan menjadi etos prestasi dan akuntabilitas untuk menghindari kesewenangan sehubungan dengan etos jabatan.
Konteks reformasi kesehatan, adalah perubahan pola dan landasan pikir (paradigma) yang berkaitan dengan persepsi kesehatan dalam konteks pembangunan nasional, konteks pembangunan berwawasan kesehatan. Reformasi kesehatan terdiri dari:
1. Justifikasi reformasi, menyegerakan esensialisasi pada konsep nilai pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan pemberi pelayanan, merubah dan menyegarkan pola pikir dan membangun visi dari sumber daya kesehatan.
2. Identifikasi spesifikasi masalah kesehatan yang akan reformasi, membumikan pernyataan bahwa kesejahteraan rakyat menjadi tujuan pelayanan dan pelayanan kesehatan merupakan Public Goods.
3. Meminimalisasikan hambatan dengan kegiatan pembangunan dan pengembangan kesehatan yang adekuat, tepat dan bermanfaat,
4. Faktualisasi indikator yang memberikan adanya dampak nyata dan jika mungkin segera dari implikasi upaya kesehatan.
5. Membangun dukungan stake holder internal dan eksternal, karena memang tanpa dukungan, institusi pelayanan kesehatan bukanlah organisasi yang dapat sinergis dan berkinerja sesuai dengan tuntutan masyarakat dan tuntutan pemerintah. Dukungan internal akan terbina dengan baik jika salah satu permasalahan kesejateraan karyawan terpelihara dengan rasional, proporsional, adil, menumbuh kembangkan motivasi kerja dan diterima. Kondisi yang sering jadi pemicu demontrasi dan rasa tidak puas yang pada akhirnya tidak membangun sinergisitas kinerja karyawan. Dukungan eksternal selama ini tetap terpel;ihara dengan baik jika pencapaian target pemerintah daerah tentang penerimaan masih berkisar 90-100% akan lebih membaik lagi jika trend penerimaan dari jasa pelayanan kesehatan semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Kompetensi Direktur Rumah Sakit
Sangat sulit memahami atau mengetahui kompetensi direktur rumah sakit, karena tergantung kepada apa yang dihadapi oleh rumah sakitnya, siapa dan bagaimana visi pemilik rumah sakitnya. Dari luasnya dimensi kepentingan di dan dari keberadaan rumah sakit tentu saja diperlukan berbagai pemahaman yang mendalam tentang kompetensi yang dibutuhkan dari seorang direktur rumah sakit. Tidak dipungkiri bahwa ada direktur rumah sakit dengan kompetensi yang lengkap dan memadai namun dia berada dalam multyculture pressure yang tinggi sehingga kompetensinya menjadi tidak berkembang; ada direktur rumah sakit yang biasa-biasa saja atau mediocore namun ia berada pada culture yang mendukung dan hasilnya cemerlang; ada direktur rumah sakit dengan pengalaman baru yang consultative dapat menyelesaikan apa yang ditetapkan oleh pemilik rumahsakit untuk dilaksanakan dan dijalankan; dan ada calon-calon direktur rumah sakit dengan spesifikasi kepemimpinan dan pendidikan yang memadai tidak dianggap ada dan jika dikaji lebih dalam adalah layak dan pantas calon-calon tersebut untuk menjadi direktur tetapi calon tersebut masih tetap sebagai staf fungsional dan tetap menjadi pimpinan Puskesmas.
Kompetensi seorang direktur rumah sakit dewasa ini secara de facto sangat diperlukan, namun pada umumnya pemerintah daerah/pemilik rumahsakit belum memiliki konsep/pedoman/kriteria atau prasarat untuk menentukan seorang yang memenuhi syarat dari sisi kompetensi yang bersangkutan, pada umumnya dalam menentukan direktur rumah sakit hanya berdasarkan kenalan, melihat pengalaman yang bersangkutan dalam mengelola rumah sakit sebelumnya, kedekatan dengan tim Baperjakat, ikatan keluarga, keterpaksaan dari pada tidak ada direktur, sangat patuh dan atau sangat penurut, sangat baik perilakunya, senioritas, pangkat yang paling tinggi, adanya bisikan pihak ketiga dan atau lain-lain sebab sebab sebagainya.
Sayangnya mekanisme rekruitment direktur rumah sakit atau rekruitment pejabat lainnya dari perangkat otonomi daerah tidak diatur/belum diatur dengan jelas, pada umumnya masih belum ada kejelasan indikator keberhasilan seorang direktur rumah sakit yang sudah barang tentu membutuhkan kompetensi-kompetensi tertentu. Akibatnya terjadi Trial and Error,: angkat saja dulu sebagai direktur rumah sakit, nanti kita nilai apakah ia berhasil atau tidak, jika tidak berhasil kita ganti dengan orang lain Dari kalimat ini tampak bahwa pemilik rumah sakit (pemerintah daerah) samasekali tidak memiliki kejelasan indikator bagi keberhasilan direktur rumah sakit sejak seorang ditetapkan sebagai direktur rumah sakit, dan celakanya indikator hanya dimiliki oleh pemilik (pemerintah daerah) saja sedangkan calon direktur rumah sakit tidak tahu sama sekali.
Direktur rumah sakit seperti ini akan selalu bertanya (selalu berkonsultasi) dan selalu memelihara etos jabatan dari pada menjadi pemimpin yang berkompetensi seperti peran manager menurut MINTZBERG. Keberhasilan berdasarkan indikator kinerja pelayanan kesehatan dan pelayanan umum sebenarnya lebih penting dari pada pencapaian indikator dari sisi keuangan karena prinsipnya rumah sakit umum daerah bukanlah mesin penghasil anggaran pembangunan daerah, jika ini berlangsung maka keberhasilan pembangunan ekonomi tidak mendukung keberhasilan pembangunan kesejahteraan manusia yang sebenarnya melanggar UUD 1945.
Sebaiknya dan sebenarnya sudah saatnya direktur rumah sakit memiliki core competencies agar mampu menjawab tantangan dimasa depan yang syarat akan issue persaingan bebas, keanekaragaman budaya nyata dan maya, penegakkan komitment karyawan, kinerja organisasi dalam segala unsur dan tahapan manajemen, kapasitas dan kapabilitas karyawan, tuntutan pasar yang semakin dewasa, mampu menggerakkan sistem-sistem internal, menerapkan strategi, bahkan mengelola konflik yang biasanya selalu ada dan tumbuh di rumah sakit.
Konsep Kompetensi yang disampaikan dalam MUNAS ARSADA II pada tanggal 9 13 Juni 2004 di Jogyakarta oleh Ketua Umum ARSADA sepertinya perlu lebih dimasyarakatkan karena tantangan dan hambatan yang digambarkan saat itu benar-benar akan terjadi pada tahun-tahun mendatang dimana terjadi pergeseran konsep sehat dan sakit, globalisasi, kebijakan keuangan berbasis kinerja, perdagangan bebas dan lain sebagainya. Masyarakat dengan pendapatan perkapita yang meningkat, pendidikan semakin merata dan arus informasi dan telekomunikasi yang semakin melampaui batas dan menerjang keterbelakangan juga semestinya dapat dijadikan materi kompetensi bagaimana seorang direktur rumah sakit menyikapinya.
Apa Kriteria Direktur BAPERJAKAT ?
Tim Baperjakat kabupaten biasanya terdiri dari Sekretaris Daerah, Kepala BKD, Sekretaris BKD, Kepala Badan Pengawas Daerah, Kabag Hukum, dan lain-lain. Tim ini bekerja berdasarkan usulan nama-nama pejabat dari organisasi-organisasi pemerintahan yang ada di daerah dan atau berdasarkan keinginan pimpinan daerah dan atau juga berdasarkan titipan-titipan lisan dan fisik yang dapat mempengaruhi rasionalitas dan aturan yang berlaku. Calon pejabat tidak diundang untuk dimintai pendapatnya dalam sebuat pertemuan, dan jika adapun pertemuan biasanya berlangsung tidak lama karena konsep atas intrik-intrik yang disodorkan BKD telah tersedia dan tinggal ditanda tangani tim/panitia dan terima SPPD. Calon tidak dilakukan uji kompetensi dan sangat jarang Pemerintah Daerah sebagai pemilik rumah sakit menerima aspirasi nurani dari mayoritas masyarakat rumahsakit siapa pimpinan mereka yang akomodatif dan dapat diharapkan serta mendapat dukungan tenaga medis.
Syarat normatif calon direktur rumah sakit pemerintah diantaranya adalah:
1. Kepangkatan, (dapat Peltu jika III/d, Pejabat jika sudah IV/a);
2. Sudah mengikuti SPAMA atau SPAMEN, (dapat diikuti setelah 3 atau 6 bulan menjabat dan ada kesempatan, biasanya tanpa mengikuti test);
3. DP 3 baik dan atau sangat baik, (saat ini akuntabilitas nilai DP 3 masih perlu dipertanyakan);
4. dan lain sebagainya (biasanya sepaham, sepaman, seiman (agama lain yang tidak sama dengan agama Kepala BKD atau Bupati jangan harap dapat kesempatan), dan titipan pejabat yang lebih tinggi dan lebih berkuasa).
Pada sisi lain tentunya pemilik (Pemerintah Daerah) juga mempertim- bangkan aspirasi masyarakat dan atau sebagian masyarakat dan atau juga perseorangan yang memiliki akses kepada pejabat-pejabat dalam tim Baperjakat untuk menentukan siapa yang selayaknya dapat dijadikan figur direktur rumah sakitnya.
Rumah sakit merupakan bisnis pelayanan yang sangat tergantung kepada kepercayaan pelanggan terhadap bagaimana mutu pelayanan yang diberikan rumah sakit. Deligted Costumer bisa terwujud jika nilai yang diharapkan pelanggan dapat menyenangkan dan memberikan rasa puas. Karena sifat rumah sakit adalah industri jasa, maka para pelaku pelayanan (provider) haruslah orang-orang yang memiliki knowledge yang memadai, sebab pengetahuan perumahsakitan merupakan hal terpenting dalam industri jasa pelayanan rumah sakit saat ini dan kaitannya dengan pengetahuan peningkatan produktifitas dan peningkatan nilai-nilai mutu pelayanan (Sheehy Barry dkk, 1996)
Siapa seharusnya Direktur rumah sakit ?
Direktur rumah sakit yang berkompetensi haruslah:
Mampu mengelola informasi,
Berkemampuan dalam pengambilan keputusan,
Berkemampuan membina hubungan interpersonal dalam organisasi,
Memiliki kompetensi dasar,
Pembelajar, dan
Disukai/disenangi oleh masyarakat Rumah Sakit (barangkali dengan penelitian/kuisioner); dan atau
Memenuhi seluruhnya atau sebagian dari persyaratan normatif tersebut di atas (sebaiknya tidak dibaca)
Kebijakan departemen kesehatan yang telah diketahui bersama oleh masyarakat rumah sakit tentang latar belakang pendidikan calon direktur adalah seorang dokter dan dapat seorang sarjana kesehatan lainnya dengan suplemen berpengetahuan khusus mengenai perumahsakitan. Kebijakan ini mendapat dukungan ARSADA dan PERSI sebagai organisasi rumah sakit-rumah sakit se Indonesia. Pengalaman beberapa daerah yang telah menunjuk direktur rumah sakit yang bukan berlatar belakang pendidikan kesehatan tidak harus ditiru oleh daerah lain, karena akan menemui dilema pahit dalam membina komunikasi dengan ARSADA dan PERSI serta mungkin peluang untuk mendapatkan PROYEK-PROYEK DEKONSENTRASI dari Departemen Kesehatan Republik IndonesiaOmoto .
Penulis adalah praktisi kesehatan yang sedang belajar menulis.
JONI RASMANTO
Tulisan ini tidak untuk bertanya, tetapi mencoba memberikan informasi bagaimana seharusnya direktur sebuah rumah sakit umum daerah di era reformasi perumahsakitan, di era perdagangan bebas dan di era otonomi daerah. Direktur adalah sebutan pimpinan rumah sakit dengan berbagai strata dan bentuk kelembagaan rumahsakit (dari beberapa PERDA tentang SOTK RSUD di Provinsi Jambi)
Bagaimana reformasi perumahsakitan?.
Menjawab pertanyaan ini kita perlu mengetahui bagaimana konteks reformasi nasional dan reformasi kesehatan. Konteks reformasi nasional terdiri dari:
1. nilai yang perlu dianut, adanya tuntutan agar para birokrat lebih berorientasi kepada pelanggan (kepada konsumen/rakyat=menurut penulis), serta agar lebih responsive terhadap kebutuhan konsumen sehingga terbina dan terpelihara hubungan pemerintah dengan rakyat,
2. perilaku yang diharapkan, akuntabilitas akan menjadi lebih baik jika transparan dalam pengelolaan, dalam pencapaian yang berhasil dan pencapaian yang gagal. Sumber daya manusianya jujur dan bertanggung jawab dan takut akan dosa serta benar-benar taubat dari kesalahan orde baru,
3. budaya yang diharapkan; perubahan dalam etos kerja yang bukan merupakan etos jabatan, karena etos jabatan tidak berpihak kepada kemaslahatan ummat, belum berpihak kepada kepentingan rakyat tetapi lebih cenderung bagaimana pejabat tersebut selamat dan sukses dalam jabatannya. Perubahan ini diharapkan menjadi etos prestasi dan akuntabilitas untuk menghindari kesewenangan sehubungan dengan etos jabatan.
Konteks reformasi kesehatan, adalah perubahan pola dan landasan pikir (paradigma) yang berkaitan dengan persepsi kesehatan dalam konteks pembangunan nasional, konteks pembangunan berwawasan kesehatan. Reformasi kesehatan terdiri dari:
1. Justifikasi reformasi, menyegerakan esensialisasi pada konsep nilai pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan pemberi pelayanan, merubah dan menyegarkan pola pikir dan membangun visi dari sumber daya kesehatan.
2. Identifikasi spesifikasi masalah kesehatan yang akan reformasi, membumikan pernyataan bahwa kesejahteraan rakyat menjadi tujuan pelayanan dan pelayanan kesehatan merupakan Public Goods.
3. Meminimalisasikan hambatan dengan kegiatan pembangunan dan pengembangan kesehatan yang adekuat, tepat dan bermanfaat,
4. Faktualisasi indikator yang memberikan adanya dampak nyata dan jika mungkin segera dari implikasi upaya kesehatan.
5. Membangun dukungan stake holder internal dan eksternal, karena memang tanpa dukungan, institusi pelayanan kesehatan bukanlah organisasi yang dapat sinergis dan berkinerja sesuai dengan tuntutan masyarakat dan tuntutan pemerintah. Dukungan internal akan terbina dengan baik jika salah satu permasalahan kesejateraan karyawan terpelihara dengan rasional, proporsional, adil, menumbuh kembangkan motivasi kerja dan diterima. Kondisi yang sering jadi pemicu demontrasi dan rasa tidak puas yang pada akhirnya tidak membangun sinergisitas kinerja karyawan. Dukungan eksternal selama ini tetap terpel;ihara dengan baik jika pencapaian target pemerintah daerah tentang penerimaan masih berkisar 90-100% akan lebih membaik lagi jika trend penerimaan dari jasa pelayanan kesehatan semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Kompetensi Direktur Rumah Sakit
Sangat sulit memahami atau mengetahui kompetensi direktur rumah sakit, karena tergantung kepada apa yang dihadapi oleh rumah sakitnya, siapa dan bagaimana visi pemilik rumah sakitnya. Dari luasnya dimensi kepentingan di dan dari keberadaan rumah sakit tentu saja diperlukan berbagai pemahaman yang mendalam tentang kompetensi yang dibutuhkan dari seorang direktur rumah sakit. Tidak dipungkiri bahwa ada direktur rumah sakit dengan kompetensi yang lengkap dan memadai namun dia berada dalam multyculture pressure yang tinggi sehingga kompetensinya menjadi tidak berkembang; ada direktur rumah sakit yang biasa-biasa saja atau mediocore namun ia berada pada culture yang mendukung dan hasilnya cemerlang; ada direktur rumah sakit dengan pengalaman baru yang consultative dapat menyelesaikan apa yang ditetapkan oleh pemilik rumahsakit untuk dilaksanakan dan dijalankan; dan ada calon-calon direktur rumah sakit dengan spesifikasi kepemimpinan dan pendidikan yang memadai tidak dianggap ada dan jika dikaji lebih dalam adalah layak dan pantas calon-calon tersebut untuk menjadi direktur tetapi calon tersebut masih tetap sebagai staf fungsional dan tetap menjadi pimpinan Puskesmas.
Kompetensi seorang direktur rumah sakit dewasa ini secara de facto sangat diperlukan, namun pada umumnya pemerintah daerah/pemilik rumahsakit belum memiliki konsep/pedoman/kriteria atau prasarat untuk menentukan seorang yang memenuhi syarat dari sisi kompetensi yang bersangkutan, pada umumnya dalam menentukan direktur rumah sakit hanya berdasarkan kenalan, melihat pengalaman yang bersangkutan dalam mengelola rumah sakit sebelumnya, kedekatan dengan tim Baperjakat, ikatan keluarga, keterpaksaan dari pada tidak ada direktur, sangat patuh dan atau sangat penurut, sangat baik perilakunya, senioritas, pangkat yang paling tinggi, adanya bisikan pihak ketiga dan atau lain-lain sebab sebab sebagainya.
Sayangnya mekanisme rekruitment direktur rumah sakit atau rekruitment pejabat lainnya dari perangkat otonomi daerah tidak diatur/belum diatur dengan jelas, pada umumnya masih belum ada kejelasan indikator keberhasilan seorang direktur rumah sakit yang sudah barang tentu membutuhkan kompetensi-kompetensi tertentu. Akibatnya terjadi Trial and Error,: angkat saja dulu sebagai direktur rumah sakit, nanti kita nilai apakah ia berhasil atau tidak, jika tidak berhasil kita ganti dengan orang lain Dari kalimat ini tampak bahwa pemilik rumah sakit (pemerintah daerah) samasekali tidak memiliki kejelasan indikator bagi keberhasilan direktur rumah sakit sejak seorang ditetapkan sebagai direktur rumah sakit, dan celakanya indikator hanya dimiliki oleh pemilik (pemerintah daerah) saja sedangkan calon direktur rumah sakit tidak tahu sama sekali.
Direktur rumah sakit seperti ini akan selalu bertanya (selalu berkonsultasi) dan selalu memelihara etos jabatan dari pada menjadi pemimpin yang berkompetensi seperti peran manager menurut MINTZBERG. Keberhasilan berdasarkan indikator kinerja pelayanan kesehatan dan pelayanan umum sebenarnya lebih penting dari pada pencapaian indikator dari sisi keuangan karena prinsipnya rumah sakit umum daerah bukanlah mesin penghasil anggaran pembangunan daerah, jika ini berlangsung maka keberhasilan pembangunan ekonomi tidak mendukung keberhasilan pembangunan kesejahteraan manusia yang sebenarnya melanggar UUD 1945.
Sebaiknya dan sebenarnya sudah saatnya direktur rumah sakit memiliki core competencies agar mampu menjawab tantangan dimasa depan yang syarat akan issue persaingan bebas, keanekaragaman budaya nyata dan maya, penegakkan komitment karyawan, kinerja organisasi dalam segala unsur dan tahapan manajemen, kapasitas dan kapabilitas karyawan, tuntutan pasar yang semakin dewasa, mampu menggerakkan sistem-sistem internal, menerapkan strategi, bahkan mengelola konflik yang biasanya selalu ada dan tumbuh di rumah sakit.
Konsep Kompetensi yang disampaikan dalam MUNAS ARSADA II pada tanggal 9 13 Juni 2004 di Jogyakarta oleh Ketua Umum ARSADA sepertinya perlu lebih dimasyarakatkan karena tantangan dan hambatan yang digambarkan saat itu benar-benar akan terjadi pada tahun-tahun mendatang dimana terjadi pergeseran konsep sehat dan sakit, globalisasi, kebijakan keuangan berbasis kinerja, perdagangan bebas dan lain sebagainya. Masyarakat dengan pendapatan perkapita yang meningkat, pendidikan semakin merata dan arus informasi dan telekomunikasi yang semakin melampaui batas dan menerjang keterbelakangan juga semestinya dapat dijadikan materi kompetensi bagaimana seorang direktur rumah sakit menyikapinya.
Apa Kriteria Direktur BAPERJAKAT ?
Tim Baperjakat kabupaten biasanya terdiri dari Sekretaris Daerah, Kepala BKD, Sekretaris BKD, Kepala Badan Pengawas Daerah, Kabag Hukum, dan lain-lain. Tim ini bekerja berdasarkan usulan nama-nama pejabat dari organisasi-organisasi pemerintahan yang ada di daerah dan atau berdasarkan keinginan pimpinan daerah dan atau juga berdasarkan titipan-titipan lisan dan fisik yang dapat mempengaruhi rasionalitas dan aturan yang berlaku. Calon pejabat tidak diundang untuk dimintai pendapatnya dalam sebuat pertemuan, dan jika adapun pertemuan biasanya berlangsung tidak lama karena konsep atas intrik-intrik yang disodorkan BKD telah tersedia dan tinggal ditanda tangani tim/panitia dan terima SPPD. Calon tidak dilakukan uji kompetensi dan sangat jarang Pemerintah Daerah sebagai pemilik rumah sakit menerima aspirasi nurani dari mayoritas masyarakat rumahsakit siapa pimpinan mereka yang akomodatif dan dapat diharapkan serta mendapat dukungan tenaga medis.
Syarat normatif calon direktur rumah sakit pemerintah diantaranya adalah:
1. Kepangkatan, (dapat Peltu jika III/d, Pejabat jika sudah IV/a);
2. Sudah mengikuti SPAMA atau SPAMEN, (dapat diikuti setelah 3 atau 6 bulan menjabat dan ada kesempatan, biasanya tanpa mengikuti test);
3. DP 3 baik dan atau sangat baik, (saat ini akuntabilitas nilai DP 3 masih perlu dipertanyakan);
4. dan lain sebagainya (biasanya sepaham, sepaman, seiman (agama lain yang tidak sama dengan agama Kepala BKD atau Bupati jangan harap dapat kesempatan), dan titipan pejabat yang lebih tinggi dan lebih berkuasa).
Pada sisi lain tentunya pemilik (Pemerintah Daerah) juga mempertim- bangkan aspirasi masyarakat dan atau sebagian masyarakat dan atau juga perseorangan yang memiliki akses kepada pejabat-pejabat dalam tim Baperjakat untuk menentukan siapa yang selayaknya dapat dijadikan figur direktur rumah sakitnya.
Rumah sakit merupakan bisnis pelayanan yang sangat tergantung kepada kepercayaan pelanggan terhadap bagaimana mutu pelayanan yang diberikan rumah sakit. Deligted Costumer bisa terwujud jika nilai yang diharapkan pelanggan dapat menyenangkan dan memberikan rasa puas. Karena sifat rumah sakit adalah industri jasa, maka para pelaku pelayanan (provider) haruslah orang-orang yang memiliki knowledge yang memadai, sebab pengetahuan perumahsakitan merupakan hal terpenting dalam industri jasa pelayanan rumah sakit saat ini dan kaitannya dengan pengetahuan peningkatan produktifitas dan peningkatan nilai-nilai mutu pelayanan (Sheehy Barry dkk, 1996)
Siapa seharusnya Direktur rumah sakit ?
Direktur rumah sakit yang berkompetensi haruslah:
Mampu mengelola informasi,
Berkemampuan dalam pengambilan keputusan,
Berkemampuan membina hubungan interpersonal dalam organisasi,
Memiliki kompetensi dasar,
Pembelajar, dan
Disukai/disenangi oleh masyarakat Rumah Sakit (barangkali dengan penelitian/kuisioner); dan atau
Memenuhi seluruhnya atau sebagian dari persyaratan normatif tersebut di atas (sebaiknya tidak dibaca)
Kebijakan departemen kesehatan yang telah diketahui bersama oleh masyarakat rumah sakit tentang latar belakang pendidikan calon direktur adalah seorang dokter dan dapat seorang sarjana kesehatan lainnya dengan suplemen berpengetahuan khusus mengenai perumahsakitan. Kebijakan ini mendapat dukungan ARSADA dan PERSI sebagai organisasi rumah sakit-rumah sakit se Indonesia. Pengalaman beberapa daerah yang telah menunjuk direktur rumah sakit yang bukan berlatar belakang pendidikan kesehatan tidak harus ditiru oleh daerah lain, karena akan menemui dilema pahit dalam membina komunikasi dengan ARSADA dan PERSI serta mungkin peluang untuk mendapatkan PROYEK-PROYEK DEKONSENTRASI dari Departemen Kesehatan Republik IndonesiaOmoto .
Penulis adalah praktisi kesehatan yang sedang belajar menulis.
JONI RASMANTO
0 Respon Pada "Bagaimana Analisa Jabatan Di Era Desentralisasi"
Posting Komentar